Raden Oma Irama yang populer dengan nama Rhoma Irama lahir di Tasikmalaya,
11 Desember 1946, Pria ‘ningrat’ ini merupakan putra kedua dari empat belas
bersaudara, delapan laki-laki dan enam perempuan (delapan saudara kandung,
empat saudara seibu dan dua saudara bawaan dari ayah tirinya). Ayahnya, Raden
Burdah Anggawirya, seorang komandan gerilyawan Garuda Putih, memberinya nama
‘Irama’ karena bersimpati terhadap grup sandiwara Irama Baru asal Jakarta yang
pernah diundangnya untuk menghibur pasukannya di Tasikmalaya. Sebelum pindah ke
Tasikmalaya, keluarganya tinggal di
Jakarta dan di kota inilah kakaknya, Haji Benny Muharam dilahirkan. Sebelum pindah ke Tasikmalaya, keluarganya tinggal di Jakarta dan di kota inilah kakaknya, Haji Benny Muharam dilahirkan. Setelah beberapa tahun tinggal di Tasikmalaya, keluarganya termasuk kakaknya, Haji Benny Muharam, dan adik-adiknya, Handi dan Ance, pindah lagi ke Jakarta lalu tinggal di Jalan Cicarawa, Bukit Duri, kemudian pindah ke Bukit Duri Tanjakan. Di sinilah mereka menghabiskan masa remaja sampai tahun 1971 lalu pindah lagi ke Tebet. Semenjak kecil Rhoma sudah terlihat bakat seninya. Tangisannya terhenti setiap kali ibundanya, Tuti Juariah menyenandungkan lagu-lagu. Masuk kelas nol, ia sudah mulai menyukai lagu.
Minatnya pada lagu semakin besar ketika masuk sekolah dasar. Menginjak kelas 2 SD, ia sudah bisa membawakan lagu-lagu Barat dan India dengan baik. Ia suka menyanyikan lagu No Other Love, kesayangan ibunya, dan lagu Mera Bilye Buchariajaya yang dinyanyikan oleh Lata Maagiskar. Selain itu, ia juga menikmati lagu-lagu Timur Tengah yang dinyanyikan Umm Kaltsum. Bakat musiknya mungkin berasal dari ayahnya yang fasih memainkan seruling dan menyanyikan lagu-lagu Cianjuran, sebuah kesenian khas Sunda. Selain itu, pamannya yang bernama Arifin Ganda suka mengajarinya lagu-lagu Jepang ketika Rhoma masih kecil. Pengalamannya menyanyikan lagu-lagu India sewaktu masih sekolah dasar, lagu-lagu pop dan rock Barat hingga akhir 1960-an lalu beralih ke musik Melayu, menjadikan lagu dan musik yang dibawakannya di atas panggung lebih dinamis, melodis dan menarik. Karena usia Rhoma dengan kakaknya Benny tidak berbeda jauh, mereka selalu kompak dan pergi berdua-duaan. Berbeda dengan kakaknya yang lebih sering malas ikut mengaji di surau atau rumah kyai, Rhoma selalu mengikuti pengajian dengan tekun. Setiap kali ayah ibunya bertanya apakah kakaknya ikut mengaji, Rhoma selalu menjawab ya. Ke sekolahpun mereka berangkat bersama-sama. Dengan berboncengan sepeda, keduanya berangkat dan pulang ke sekolah di SD Kibono, Manggarai.
Jakarta dan di kota inilah kakaknya, Haji Benny Muharam dilahirkan. Sebelum pindah ke Tasikmalaya, keluarganya tinggal di Jakarta dan di kota inilah kakaknya, Haji Benny Muharam dilahirkan. Setelah beberapa tahun tinggal di Tasikmalaya, keluarganya termasuk kakaknya, Haji Benny Muharam, dan adik-adiknya, Handi dan Ance, pindah lagi ke Jakarta lalu tinggal di Jalan Cicarawa, Bukit Duri, kemudian pindah ke Bukit Duri Tanjakan. Di sinilah mereka menghabiskan masa remaja sampai tahun 1971 lalu pindah lagi ke Tebet. Semenjak kecil Rhoma sudah terlihat bakat seninya. Tangisannya terhenti setiap kali ibundanya, Tuti Juariah menyenandungkan lagu-lagu. Masuk kelas nol, ia sudah mulai menyukai lagu.
Minatnya pada lagu semakin besar ketika masuk sekolah dasar. Menginjak kelas 2 SD, ia sudah bisa membawakan lagu-lagu Barat dan India dengan baik. Ia suka menyanyikan lagu No Other Love, kesayangan ibunya, dan lagu Mera Bilye Buchariajaya yang dinyanyikan oleh Lata Maagiskar. Selain itu, ia juga menikmati lagu-lagu Timur Tengah yang dinyanyikan Umm Kaltsum. Bakat musiknya mungkin berasal dari ayahnya yang fasih memainkan seruling dan menyanyikan lagu-lagu Cianjuran, sebuah kesenian khas Sunda. Selain itu, pamannya yang bernama Arifin Ganda suka mengajarinya lagu-lagu Jepang ketika Rhoma masih kecil. Pengalamannya menyanyikan lagu-lagu India sewaktu masih sekolah dasar, lagu-lagu pop dan rock Barat hingga akhir 1960-an lalu beralih ke musik Melayu, menjadikan lagu dan musik yang dibawakannya di atas panggung lebih dinamis, melodis dan menarik. Karena usia Rhoma dengan kakaknya Benny tidak berbeda jauh, mereka selalu kompak dan pergi berdua-duaan. Berbeda dengan kakaknya yang lebih sering malas ikut mengaji di surau atau rumah kyai, Rhoma selalu mengikuti pengajian dengan tekun. Setiap kali ayah ibunya bertanya apakah kakaknya ikut mengaji, Rhoma selalu menjawab ya. Ke sekolahpun mereka berangkat bersama-sama. Dengan berboncengan sepeda, keduanya berangkat dan pulang ke sekolah di SD Kibono, Manggarai.
Di bangku SD, bakat menyanyi Rhoma semakin kelihatan. Rhoma adalah murid yang
paling rajin bila disuruh maju ke depan kelas untuk menyanyi. Dan uniknya,
Rhoma tidak sama dengan murid-murid lain yang suka malu-malu di depan kelas.
Rhoma menyanyi dengan suara keras hingga terdengar sampai ke kelas-kelas lain.
Perhatian murid-murid semakin besar karena Rhoma tidak menyanyikan lagu
anak-anak atau lagu kebangsaan, melainkan lagu-lagu India.
Bakatnya sebagai penyanyi mendapat perhatian penyanyi senior, Bing Slamet
karena melihat penampilan Rhoma yang mengesankan ketika menyanyikan sebuah lagu
Barat dalam acara pesta di sekolahnya. Suatu hari ketika Rhoma masih duduk di
kelas 4, Bing membawanya tampil dalam sebuah show di Gedung SBKA (Serikat Buruh
Kereta Api) di Manggarai. Ini merupakan pengalaman yang membanggakan bagi
Rhoma.
Sejak itu, meski belum berpikir untuk menjadi penyanyi, Rhoma sudah tidak terpisahkan
lagi dari musik. Dengan usaha sendiri, ia belajar memainkan gitar hingga mahir.
Karena saking tergila-gilanya dengan gitar, Rhoma sering membuat ibunya marah
besar. Setiap kali ia pulang sekolah, yang pertama dia cari adalah gitar.
Begitu pula setiap kali ia keluar rumah, gitar hampir selalu ia bawa.Pernah suatu kali, ibunya menyuruh Rhoma menjaga adiknya, tetapi Rhoma lebih
suka memilih bermain gitar. Akibat ulahnya itu, ibunya merampas gitarnya lalu
melemparkannya ke arah pohon jambu hingga pecah. Kejadian itu membuat sedih
Rhoma karena gitar adalah teman nomor satu baginya.
Dalam perkembangannya dalam mendalami musik, Rhoma mulai menyadari bahwa
meskipun ayah dan ibunya – pasangan berdarah ningrat – adalah penggemar musik,
mereka tetap menganggap dunia musik bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan
atau dijadikan sebuah profesi. Ibunya sering meneriakkan ‘berisik’ setiap kali
ia menyanyi dan beranggapan bahwa musik akan menghambat sekolahnya. Kenyataan
ini membuat bakat musik Rhoma justru semakin berkembang dari luar rumah karena
di dalam rumah ia kurang mendapat dukungan.
Sewaktu Rhoma masih kelas 5 SD tahun 1958, ayahnya meninggal dunia. Sang ayah
meninggalkan delapan anak, yaitu, Benny, Rhoma, Handi, Ance, Dedi, Eni,
Herry, dan Yayang. Ketika kakaknya, Benny masih duduk di kelas 1
SMP, ibunya menikah lagi dengan seorang perwira ABRI, Raden Soma Wijaya, yang
masih ada hubungan famili dan juga berdarah ningrat. Ayah tirinya ini membawa
dua anak dari istrinya yang terdahulu dan setelah menikah dengan Ibu Rhoma,
sang ibu melahirkan dua anak lagi.
Ketika ayah kandungnya masih hidup, suasana di rumahnya feodal. Sehari-hari ayah dan ibunya berbicara dengan bahasa Belanda. Segalanya harus serba teratur dan menggunakan tata krama tertentu. Para pembantu harus memanggil anak-anak dengan sebutan Den (raden). Anak-anak harus tidur siang dan makan bersama-sama. Ayahnya juga tak segan-segan menghukum mereka dengan pukulan jika dianggap melakukan kesalahan, misalnya bermain hujan atau membolos sekolah.
Keadaan keluarga Rhoma di Tebet waktu itu memang tergolong cukup kaya bila dibandingkan dengan masyarakat sekitar. Rumahnya mentereng dan mereka memiliki beberapa mobil seperti Impala, mobil yang tergolong mewah di zaman itu. Rhoma juga selalu berpakaian bagus dan mahal.
Namun, suasana feodal itu tidak lagi kental setelah ayah tiri-nya hadir di tengah-tengah keluarga mereka. Bahkan dari ayah tiri inilah, di samping pamannya, Rhoma mendapat ‘angin’ untuk menyalurkan bakat musiknya. Secara bertahap ayah tirinya membelikan alat-alat musik akustik berupa gitar, bongo, dan sebagainya.
Dunia Rhoma di masa kanak-kanak rupanya bukan hanya dunia musik. Rhoma juga suka adu jotos dengan anak-anak lain. Lingkungan pergaulannya ketika itu tergolong keras. Anak-anak saat itu cenderung mengelompok dalam geng, dan satu geng dengan geng lainnya saling bermusuhan, atau setidaknya saling bersaing. Dengan demikian, perkelahian antar geng sering tak terhindarkan.
Di Bukitduri tempat tinggalnya, hampir setiap kampung di daerah itu terdapat geng (kelompok anak muda). Di Bukitduri ada BBC (Bukit Duri Boys Club), di Kenari ada Kenari Boys, Cobra Boys, dan sebagainya. Dari Bukitduri Puteran, dan dari Manggarai banyak anak muda yang bergabung dengan Geng Cobra. Geng-geng ini saling bermusuhan sehingga keributan selalu hampir terjadi setiap kali mereka bertemu.
Satu hal yang cukup menonjol pada diri Rhoma adalah teman-temannya hampir selalu menjadikan Rhoma sebagai pemimpin. Tentu saja, bila gengnya bentrok dengan geng lain, Rhomalah yang diharapkan tampil paling depan, untuk berkelahi. Meskipun pernah menang beberapa kali, Rhoma juga sering mengalami babak belur, bahkan pernah luka cukup parah karena dikeroyok 15 anak di daerah Megaria.
Ketika ia masuk SMP, tempat-tempat berlatih silat semakin marak. Tetapi, bagi Rhoma, ilmu bela diri nasional ini tidaklah asing, karena sejak kecil ia sudah mendapat latihan dari ayahnya dan beberapa guru silat lainnya. Rhoma pernah belajar silat Cingkrik (paduan silat Betawi dan Cimande) pada Pak Rohimin di Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Rhoma juga pernah belajar silat Sigundel di Jalan talang, selain beberapa ilmu silat yang lain. Bila terjadi perkelahian antar geng, para anggota geng saling menjajal ilmu silat yang telah mereka pelajari.
Karena kebandelannya itulah maka Rhoma beberapa kali harus tinggal kelas, sehingga karena malu maka ia acapkali berpindah sekolah. Kelas Tiga SMP dijalaninya di Medan. Ketika itu ia dititipkan di rumah pamannya. Tapi, tak berapa lama kemudian ia sudah pindah lagi ke SMP Negeri XV Jakarta.
Kenakalan Rhoma terus berlanjut hingga bangku SMA. Sewaktu bersekolah di SMA Negeri VIII Jakarta, ia pernah kabur dari kelas lewat jendela karena ingin bermain musik dengan teman-temannya yang sudah menunggunya di luar. Kegandrungannya pada musik dan berkelahi di luar dan dalam sekolah membuatnya acapkali keluar masuk sekolah SMA. Selain di SMA Negeri VIII Jakarta, ia juga pernah tercatat sebagai siswa di SMA PSKD Jakarta, St Joseph di Solo, dan akhirnya ia menetap di SMA 17 Agustus Tebet, Jakarta, tak jauh dari rumahnya.
Di masa SMA lah Rhoma sempat melewati masa-masa sangat pahit. Ia terpaksa menjadi pengamen di jalanan Kota Solo. Di sana dia ditampung di rumah seorang pengamen bernama Mas Gito. Sebenarnya, sebelum ‘terdampar’ di Solo, ia berniat hendak belajar agama di Pesantren Tebuireng Jombang. Namun, karena tidak membeli karcis, Rhoma, Benny kakaknya, dan tiga orang temannya, Daeng, Umar, dan Haris harus main kucing-kucingan dengan kondektur selama dalam perjalanan. Daripada terus gelisah karena takut ketahuan lalu diturunkan di tempat sepi, mereka akhirnya memilih turun di Stasiun Tugu Jogja. Dari Jogja, mereka naik kereta lagi menuju Solo.
Di Solo, Rhoma melanjutkan sekolahnya di SMA St. Joseph. Biaya sekolah diperolehnya dari mengamen dan menjual beberapa potong pakaian yang dibawanya dari Jakarta. Namun, karena di Solo sekolahnya tidak lulus, Rhoma harus pulang ke Jakarta dan melanjutkan sekolah di SMA 17 Agustus sampai akhirnya lulus tahun 1964. Ia kemudian melanjutkan kuliah di Fakultas Sosial Politik Universitas 17 Agustus, tapi hanya bertahan satu tahun karena ketertarikan Rhoma kepada dunia musik sudah terlampau besar.
Pada tahun tujuh puluhan, Rhoma sudah menjadi penyanyi dan musisi ternama setelah jatuh bangun dalam mendirikan band musik, mulai dari band Gayhand tahun 1963. Tak lama kemudian, ia pindah masuk Orkes Chandra Leka, sampai akhirnya membentuk band sendiri bernama Soneta yang sejak 13 Oktober 1973 mulai berkibar. Bersama grup Soneta yang dipimpinnya, Rhoma tercatat pernah memperoleh 11 Golden Record dari kaset-kasetnya.
Ketika ayah kandungnya masih hidup, suasana di rumahnya feodal. Sehari-hari ayah dan ibunya berbicara dengan bahasa Belanda. Segalanya harus serba teratur dan menggunakan tata krama tertentu. Para pembantu harus memanggil anak-anak dengan sebutan Den (raden). Anak-anak harus tidur siang dan makan bersama-sama. Ayahnya juga tak segan-segan menghukum mereka dengan pukulan jika dianggap melakukan kesalahan, misalnya bermain hujan atau membolos sekolah.
Keadaan keluarga Rhoma di Tebet waktu itu memang tergolong cukup kaya bila dibandingkan dengan masyarakat sekitar. Rumahnya mentereng dan mereka memiliki beberapa mobil seperti Impala, mobil yang tergolong mewah di zaman itu. Rhoma juga selalu berpakaian bagus dan mahal.
Namun, suasana feodal itu tidak lagi kental setelah ayah tiri-nya hadir di tengah-tengah keluarga mereka. Bahkan dari ayah tiri inilah, di samping pamannya, Rhoma mendapat ‘angin’ untuk menyalurkan bakat musiknya. Secara bertahap ayah tirinya membelikan alat-alat musik akustik berupa gitar, bongo, dan sebagainya.
Dunia Rhoma di masa kanak-kanak rupanya bukan hanya dunia musik. Rhoma juga suka adu jotos dengan anak-anak lain. Lingkungan pergaulannya ketika itu tergolong keras. Anak-anak saat itu cenderung mengelompok dalam geng, dan satu geng dengan geng lainnya saling bermusuhan, atau setidaknya saling bersaing. Dengan demikian, perkelahian antar geng sering tak terhindarkan.
Di Bukitduri tempat tinggalnya, hampir setiap kampung di daerah itu terdapat geng (kelompok anak muda). Di Bukitduri ada BBC (Bukit Duri Boys Club), di Kenari ada Kenari Boys, Cobra Boys, dan sebagainya. Dari Bukitduri Puteran, dan dari Manggarai banyak anak muda yang bergabung dengan Geng Cobra. Geng-geng ini saling bermusuhan sehingga keributan selalu hampir terjadi setiap kali mereka bertemu.
Satu hal yang cukup menonjol pada diri Rhoma adalah teman-temannya hampir selalu menjadikan Rhoma sebagai pemimpin. Tentu saja, bila gengnya bentrok dengan geng lain, Rhomalah yang diharapkan tampil paling depan, untuk berkelahi. Meskipun pernah menang beberapa kali, Rhoma juga sering mengalami babak belur, bahkan pernah luka cukup parah karena dikeroyok 15 anak di daerah Megaria.
Ketika ia masuk SMP, tempat-tempat berlatih silat semakin marak. Tetapi, bagi Rhoma, ilmu bela diri nasional ini tidaklah asing, karena sejak kecil ia sudah mendapat latihan dari ayahnya dan beberapa guru silat lainnya. Rhoma pernah belajar silat Cingkrik (paduan silat Betawi dan Cimande) pada Pak Rohimin di Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Rhoma juga pernah belajar silat Sigundel di Jalan talang, selain beberapa ilmu silat yang lain. Bila terjadi perkelahian antar geng, para anggota geng saling menjajal ilmu silat yang telah mereka pelajari.
Karena kebandelannya itulah maka Rhoma beberapa kali harus tinggal kelas, sehingga karena malu maka ia acapkali berpindah sekolah. Kelas Tiga SMP dijalaninya di Medan. Ketika itu ia dititipkan di rumah pamannya. Tapi, tak berapa lama kemudian ia sudah pindah lagi ke SMP Negeri XV Jakarta.
Kenakalan Rhoma terus berlanjut hingga bangku SMA. Sewaktu bersekolah di SMA Negeri VIII Jakarta, ia pernah kabur dari kelas lewat jendela karena ingin bermain musik dengan teman-temannya yang sudah menunggunya di luar. Kegandrungannya pada musik dan berkelahi di luar dan dalam sekolah membuatnya acapkali keluar masuk sekolah SMA. Selain di SMA Negeri VIII Jakarta, ia juga pernah tercatat sebagai siswa di SMA PSKD Jakarta, St Joseph di Solo, dan akhirnya ia menetap di SMA 17 Agustus Tebet, Jakarta, tak jauh dari rumahnya.
Di masa SMA lah Rhoma sempat melewati masa-masa sangat pahit. Ia terpaksa menjadi pengamen di jalanan Kota Solo. Di sana dia ditampung di rumah seorang pengamen bernama Mas Gito. Sebenarnya, sebelum ‘terdampar’ di Solo, ia berniat hendak belajar agama di Pesantren Tebuireng Jombang. Namun, karena tidak membeli karcis, Rhoma, Benny kakaknya, dan tiga orang temannya, Daeng, Umar, dan Haris harus main kucing-kucingan dengan kondektur selama dalam perjalanan. Daripada terus gelisah karena takut ketahuan lalu diturunkan di tempat sepi, mereka akhirnya memilih turun di Stasiun Tugu Jogja. Dari Jogja, mereka naik kereta lagi menuju Solo.
Di Solo, Rhoma melanjutkan sekolahnya di SMA St. Joseph. Biaya sekolah diperolehnya dari mengamen dan menjual beberapa potong pakaian yang dibawanya dari Jakarta. Namun, karena di Solo sekolahnya tidak lulus, Rhoma harus pulang ke Jakarta dan melanjutkan sekolah di SMA 17 Agustus sampai akhirnya lulus tahun 1964. Ia kemudian melanjutkan kuliah di Fakultas Sosial Politik Universitas 17 Agustus, tapi hanya bertahan satu tahun karena ketertarikan Rhoma kepada dunia musik sudah terlampau besar.
Pada tahun tujuh puluhan, Rhoma sudah menjadi penyanyi dan musisi ternama setelah jatuh bangun dalam mendirikan band musik, mulai dari band Gayhand tahun 1963. Tak lama kemudian, ia pindah masuk Orkes Chandra Leka, sampai akhirnya membentuk band sendiri bernama Soneta yang sejak 13 Oktober 1973 mulai berkibar. Bersama grup Soneta yang dipimpinnya, Rhoma tercatat pernah memperoleh 11 Golden Record dari kaset-kasetnya.
Tahun 1972, ia menikahi Veronica yang kemudian memberinya tiga orang
anak, Debby (31), Fikri (27) dan Romy (26). Tetapi sayang, Rhoma
akhirnya bercerai dengan Veronica bulan Mei 1985 setelah sekitar setahun
sebelumnya Rhoma menikahi Ricca Rachim – partner-nya dalam beberapa film
seperti Melodi Cinta, Badai di Awal Bahagia, Camellia, Cinta Segitiga, Melodi
Cinta, Pengabdian, Pengorbanan, dan Satria Bergitar. Hingga sekarang, Ricca
tetap mendampingi Rhoma sebagai istri.
Kesuksesannya di dunia musik dan dunia seni peran membuat Rhoma sempat mendirikan perusahaan film Rhoma Irama Film Production yang berhasil memproduksi film, di antaranya Perjuangan dan Doa (1980) serta Cinta Kembar (1984).
Kini, Rhoma yang biasa dipanggil Pak Haji ini, banyak mengisi waktunya dengan berdakwah baik lewat musik maupun ceramah-ceramah di televisi hingga ke penjuru nusantara. Dengan semangat dan gaya khasnya, Rhoma yang menjadikan grup Soneta sebagai Sound of Moslem terus giat meluaskan syiar agama.
Kesuksesannya di dunia musik dan dunia seni peran membuat Rhoma sempat mendirikan perusahaan film Rhoma Irama Film Production yang berhasil memproduksi film, di antaranya Perjuangan dan Doa (1980) serta Cinta Kembar (1984).
Kini, Rhoma yang biasa dipanggil Pak Haji ini, banyak mengisi waktunya dengan berdakwah baik lewat musik maupun ceramah-ceramah di televisi hingga ke penjuru nusantara. Dengan semangat dan gaya khasnya, Rhoma yang menjadikan grup Soneta sebagai Sound of Moslem terus giat meluaskan syiar agama.
Rhoma sendiri adalah suami penyanyi dangdut Rica Rachim, yang dinikahinya
sekitar tahun 1984. Pernikahan itu pun berlangsung diam-diam, karena pada saat
itu Rhoma masih berstatus suami Veronica (alm). Baru tahun 1985 Rhoma menceraikan
Veronika secara resmi.
Sejarah seperti terulang, Rhoma juga pernah menikah secara sirri (diam-diam)
dengan aktris Lely Angraeni atau Angel Lelga). Pernikahan mereka tidak tercium
media, baru diketahui setelah resmi Rhoma menceraikan Angel lewat konferensi
pers.
Rhoma juga terlibat perseteruan dengan penyanyi Goyang Ngebor, Inul Daratista,
yang oleh Bang Haji dianggap telah mencemari dangdut yang telah dibangunya
dengan goyangan-goyangan erotis. Perseteruan Bang Haji-Inul ini semakin melebar
dan menimbulkan pro dan kontra di kalangan aktris, selain pada saat itu juga
tengah diperbincangkan undang-undang anti-pornografi dan pornoaksi.
Karir
Bersama grup musik Soneta yang dipimpinnya, penyanyi yang banyak membintangi film-film dakwah Islam ini telah menjadi legenda musik dangdut Indonesia dan memproklamirkan musiknya sebagai musik dakwah (Voice of Moslem) sejak 1973. Keseluruhan lagu yang jumlahnya ratusan diciptakan sendiri oleh mantan suami Veronica (alm) ini. Hingga kini Rhoma masih eksis bersama Sonetanya dan aktif memimpin PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia), selain sejumlah organisasi sosial dan dakwah yang digelutinya. Setelah lama tidak bermain film, akhirnya, sang raja dangdut, Rhoma Irama terjun kembali dalam dunia entertainment yang telah membesarkan namanya. Bang Haji, demikian biasa dipanggil, terlibat dalam film DAWAI 2 ASMARA yang juga dibintangi putranya Ridho Rhoma. Rhoma yang dulu sering bermain dalam film laga dengan mengendarai kuda, rupanya mengaku sempat kaget setelah lama tidak mengasah kemampuan aktingnya. Namun setelah sedikit beradaptasi, semua bisa dilaluinya. Bahkan, Rhoma pun berniat untuk membantu sebagai sutradara pada film-film yang akan datang.
Bersama grup musik Soneta yang dipimpinnya, penyanyi yang banyak membintangi film-film dakwah Islam ini telah menjadi legenda musik dangdut Indonesia dan memproklamirkan musiknya sebagai musik dakwah (Voice of Moslem) sejak 1973. Keseluruhan lagu yang jumlahnya ratusan diciptakan sendiri oleh mantan suami Veronica (alm) ini. Hingga kini Rhoma masih eksis bersama Sonetanya dan aktif memimpin PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia), selain sejumlah organisasi sosial dan dakwah yang digelutinya. Setelah lama tidak bermain film, akhirnya, sang raja dangdut, Rhoma Irama terjun kembali dalam dunia entertainment yang telah membesarkan namanya. Bang Haji, demikian biasa dipanggil, terlibat dalam film DAWAI 2 ASMARA yang juga dibintangi putranya Ridho Rhoma. Rhoma yang dulu sering bermain dalam film laga dengan mengendarai kuda, rupanya mengaku sempat kaget setelah lama tidak mengasah kemampuan aktingnya. Namun setelah sedikit beradaptasi, semua bisa dilaluinya. Bahkan, Rhoma pun berniat untuk membantu sebagai sutradara pada film-film yang akan datang.
Kini, dia tengah diusung oleh sejumlah elemen masyarakat untuk maju sebagai
calon presiden 2014.
Bio Data H. Rhoma Irama
Raden Oma Irama
Tanggal Lahir
11 Desember 1946
Tempat Lahir
Tasikmalaya, Indonesia
Kewarganegaraan
Indonesia
Ayah
Raden Irama Burdah Anggawirya
Ibu
R.H. Tuti Juariah
Suami/Istri
Veronica (sejak 1972-1985), Ricca Rachim (1984), Marwah Ali, Angel Lelga (sejak 06-Mar-03 - 06-Mar-03), Gita Andini Saputri
Anak-anak
Ridho Rhoma (penyanyi, l. 14-Jan-1989), Debbie Veramasari (Debby Irama), Fikri Zulfikar (Vicky Irama), Romy Syahrial (Romy Irama), Adam Givari (dalang, l. 13-Sep-99)
Populer Sejak
Merilis lagu "Begadang" (1973)
Tanggal Lahir
11 Desember 1946
Tempat Lahir
Tasikmalaya, Indonesia
Kewarganegaraan
Indonesia
Ayah
Raden Irama Burdah Anggawirya
Ibu
R.H. Tuti Juariah
Suami/Istri
Veronica (sejak 1972-1985), Ricca Rachim (1984), Marwah Ali, Angel Lelga (sejak 06-Mar-03 - 06-Mar-03), Gita Andini Saputri
Anak-anak
Ridho Rhoma (penyanyi, l. 14-Jan-1989), Debbie Veramasari (Debby Irama), Fikri Zulfikar (Vicky Irama), Romy Syahrial (Romy Irama), Adam Givari (dalang, l. 13-Sep-99)
Populer Sejak
Merilis lagu "Begadang" (1973)
KARIR RHOMA IRAMA
Bersama
The Galaxies Band
- Djangan Kau Marah
Bersama
Zaenal Combo Band
- Djangan Dekati Aku
- Di Rumah Sadja
- Sip-Sipan Bedue
- Biarkan Aku Pergi
Album
Melayu
Bersama
OM. Candraleka (Dbp. Umar Alattas)
- Pelita Hidup
Bersama
OM. Purnama (Dbp. Awab AbdulLah)
- Ke Binaria
- OM. Purnama(?)
- Melody Cintaku
- Usah Diganggu
- Malam Cemerlang
- Aku Saudaramu
- Ke Pasar Minggu
- Malam Gembira
Bersama
OM. Sagita
- Bertamu
Bersama
OM. Pancaran Muda (Dbp. Zakaria)
- Di Dalam Bemo
Bersama
OM. Elsitara
- Indandip
- Tukang Ramal
- Anak Pertama
Bersama
OM Soneta
- Dangdut
- Surat Terakhir
- Berbulan Madu
- Gelandangan
- Joget
- Janda Kembang
- Tiada Lagi
Bersama
Soneta Group (Volume Series)
- Soneta Volume 1 - Begadang (1973)
- Soneta Volume 2 - Penasaran (1974)
- Soneta Volume 3 - Rupiah (1975)
- Soneta Volume 4 - Darah Muda (1975)
- Soneta Volume 5 - Musik (1976)
- Soneta Volume 6 - 135.000.000 (1977)
- Soneta Volume 7 - Santai (1977)
- Soneta Volume 8 - Hak Azazi (1978)
- Soneta Volume 9 - Begadang 2 (1979)
- Soneta Volume 10 - Sahabat (1980)
- Soneta Volume 11 - Indonesia (1980)
- Soneta Volume 12 - Renungan Dalam Nada (1981)
- Soneta Volume 13 - Emansipasi Wanita (1983)
- Soneta Volume 14 - Judi (1989)
- Soneta Volume 15 - Gali Lobang Tutup Lobang (1989)
- Soneta Volume 16 - Bujangan (1994)
- Soneta Volume 17 - Asmara (2003)
- Soneta Volume 18 - Azza (2011)
Movie
Soundtrack Albums
- Oma Irama Penasaran
- Gitar Tua Oma Irama
- Darah Muda
- Begadang
- Berkelana I
- Berkelana II
- Raja Dangdut
- Camelia
- Cinta Segitiga
- Perjuangan dan Doa
- Melodi Cinta
- Badai di Awal Bahagia
- Sebuah Pengorbanan
- Cinta Kembar
- Pengabdian
- Satria Bergitar
- Kemilau Cinta di Langit Jingga
- Menggapai Matahari I
- Menggapai Matahari II
- Nada-Nada Rindu
- Bunga Desa
- Jaka Swara
- Nada dan Dakwah
- Tabir Biru
- Dawai 2 Asmara
- Sajadah Ka'bah
Album
Solo
- Pemilu (1982)
- Lebaran (1984)
- Persaingan (1986)
- Haji (1988)
- Modern (1989)
- Haram (1990)
- Salawat Nabi (1991)
- Kehilangan Tongkat (1993)
- Rana Duka (1994)
- Stress (1995)
- Baca (1995)
- Viva Dangdut (1996)
- Mirasantika (1997)
- Reformasi (1998)
- Euforia (2000)
- Syahdu (2001)
- Asmara (2003)
- Jana Jana (2008)
- Azza (2010)
- Ukhuwah (2011)
Penghargaan
The South East Asia Superstar Legend di Singapura(2007)
Lifetime Achievement Awards 2011, SCTV (2011)*Lihat Sumber Disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar